Friday, August 21, 2015



MEMBANGUN PENDIDIKAN INDONESIA YANG MENCERDASKAN
Hendri Santoso
Jurusan Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Ketua Presidium 2014/2015


Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang, dan pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional indonesia. Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan kekhusussan tujuannya dan program yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan keturunan, dan pendidikan lainnya, serta upaya pembaharuannya meliputi landasan yuridis, kurikulum dan perangkat penunjangnya, struktur pendidikan dan tenaga kependidikan.
Berangkat dari definisi di atas maka dapat dipahami bahwa secara formal sistem pendidikan Indonesia diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian, sesungguhnya sistem pendidikan Indonesia saat ini tengah berjalan di atas rel kehidupan sekularisme, yaitu suatu pandangan hidup yang memisahkan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh, temasuk dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Meskipun pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas  (sekulerisme pendidikan) yang ada sebagaimana terungkap dalam UU No. 20/2003 tentang sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, ”pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam pasal 20, pasal 21, pasal 28 c ayat 1, pasal 31, pasal 32 UUD 1945, maupun dalam regulasi lainnya seperti UU No.2/1989 tentang sisdiknas yang diamandemenkan menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 tentang guru dan dosen, PP No No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini tengah dipersiapkan oleh pemerintah.
Yang terbaik untuk pendidikan anak bangsa Indonesia ke depan adalah membangun budaya jujur kepada peserta didik. Pendidikan kita selama ini lebih mementingkan konten kurikulum dan sibuk dengan euforia prestasi di kancah dunia. Sistem pendidikan yang komprehensif harus memiliki pemahaman yang sama mengenai pembentukan lulusan yang memiliki kepribadian yang jujur. Kejujuran akan tercipta manakala terciptanya kenyamanan dalam proses pendidikan di sekolah.
Apa yang dilakukan pemerintah terkait dengan kurikulum 2013, hemat penulis adalah suatu bentuk pemborosan kebijakan. Penulis tidak mengatakan kurikulum 2013 itu jelek, tetapi tindak lanjut dari pemberlakuan kurikulum oleh pemerintah sangat kontra produktif. Contohnya persoalan buku ajar,  pemerintah kurang mempercayai kemampuan guru dalam melakukan eksplorasi sumber belajar, sehingga malah sibuk menerbitkan buku materi, modul materi yang sebenarnya itu adalah area kompetensi guru dan pemerintah tidak perlu terlalu mengintervensi guru untuk menggunakan sistem pembakuan buku. Lebih parah lagi pemerintah kurang sigap tentang bagaimana buku itu didistribusikan ke sekolah-sekolah di Indonesia. Kedua, banyak tindak lanjut berupa diklat-diklat sosialisasi yang ujungnya justru siswa terlantar tidak mendapat cukup pelayanan pengajaran dari guru karena para guru sibuk mengikuti diklat dan pelatihan yang notabene pasti banyak biaya yang dikeluarkan. Pelaksanaan diklat tersebut hanya menghabiskan anggaran dan pelaksanaan proyek semata ketimbang implementasinya dikemudian hari. Penulis beranggapan, sebaik apa pun kurikulumnya, maka garapan yang paling mendasar adalah langkah riil harian guru di dalam kelas.
Apabila dikaji lebih mendalam, muncul pertanyaan tentang apa dan siapa pangkal persoalan pendidikan di Indonesia. Menurut penulis, yang menjadi pangkal persoalannya adalah materi (baca: pelajaran) dan pelaku (baca: guru). Banyaknya pelajaran yang harus digeluti oleh peserta didik menjadikan proses belajar mengajar tidak efektif, karena persoalan keterbatasan peserta didika dalam menyerap dan memahami pelajaran yang disampaikan. Yang kedua adalah persoalan guru yang bermacam-macam jenis yang dominasinya, adalah tidak menarik dalam memberikan materi di depan siswa-siswinya. Seharusnya guru dibekali dengan berbagai metode dan gaya mengajar yang mampu menarik perhatian peserta didik, bukan sekadar menguasai materi. Untuk mencapai tahapan ini, dibutuhkan kreatifitas dan inovasi dari para guru, sekalipun penulis beranggapan, dibutuhkan waktu yang lama untuk mampu mencapai level tersebut. Penulis yakin, pemerintah berpikir dan menindaklanjuti tentang berbagai kekurangan guru dan menutup celah-celah kekurangannya agar pendidikan di Indonesia semakin menunjukkan peningkatan kualitas. 



             

No comments: